Karya : Ahmad Aldian*)
“ibu, berangkat dulu ya. Sudah kesiangan ni, assalamu’alaikum”, pamitku lalu berlari karena jarum panjang arlojiku sudah mengarah ke angka 9.“Walaikumsalam hati-hati, put”, sayup-sayup terdengar ucapan ibu saat aku sudah sampai di halaman.
Segera aku masuk mobil dan menyuruh pak sopir untuk lebih cepat nyetirnya. Mengingat lima belas menit lagi gerbang sekolah akan tutup. Meski hanya butuh sepuluh menit mobil melaju dari rumah ke sekolah, tapi tersisa lima menit serasa dua menit.
“Pak, lebih cepat dari biasanya ya. Soalnya sudah jam tujuh kurang seperempat nih”, pintaku pada Pak selamet sopir yang biasa mengantar jemputku ke mana saja.
“Baik, Non. Dipakai sabuk pengamannya,siap Non”.
Kali ini Pak selamet tidak sampai sepuluh menit sudah memberhentikan mobilnya di depan gerbang SMA miftahul ulum. Cepat-cepat aku turun dari mobil dan berlari ke kelas. Huh! Lelah juga, keluhku.
“Eh, putri. Kok tidak biasanya kamu baru datang di jam sudah mepet seperti ini, ada masalah ya?” tanya fita teman satu kelasku.
“Ah, entahlah. Yang jelas aku tadi bangun kesiangan, padahal alaramku juga bunyi. Masa bodoh, yang penting gak telat”.
Tett.. tetttt.. Bel berbunyi dengan nyaring menyuruh dengan tegas supaya semua siswa segera masuk ke dalam kelas. Sebelum guru datang, dan segera mengeluarkan buku dari tas merah hati yang masih digendong ini.
“put, aku dengar katanya di kelas kita akan ada murid baru. Katanya sih pindahan dari sulawesi”, celetuk fita.
“Cowok atau cewek?” tanya putri.
“Katanya cowok, semoga saja orangnya ganteng dan baik hati” fita mulai ngelantur.
Aku cuek saja dengan ucapan fita. Kupusatkan pikiranku pada bacaan yang tertulis di buku catatan Sosiologi yang ada di hadapanku.
Tiba-tiba teman-teman yang tadinya saling ngobrol mendadak diam dan duduk di bangku mereka masing-masing. Ternyata Bu melinda selaku guru BK masuk bersama seseorang di belakangnya. Mungkin ini yang katanya siswa baru, ucapan itu keluar dari mulut teman-temanku. Bahkan aku juga berpikir sama dengan mereka.
“Selamat pagi, anak-anak”, sapa Bu linda.
“Pagi, Bu”.
“Pasti kalian penasaran siapa yang ada di samping ibu sekarang, iya apa tidak?” tanyanya.
“Iya, Bu”.
“Dia adalah siswa baru yang akan menempati kelas ini juga. Tolong perkenalkan dirimu, nak”.
“Baik, Bu”, jawab anak itu.
Ganteng ya. Sepertinya dia orang yang mudah akrab. Kalau dilihat dari penampilannya, dia itu orang yang cerdas. Ocehan lirih teman-temanku masuk ke dalam gendang telingaku.
“Hai, perkenalkan nama saya ahmad aldian. Panggil saja aldi. Saya berasal dari SMA 2 miftahul ulum. Sekarang saya tinggal di Desa pondok jeruk yang tidak jauh dari sini”, jelasnya.
Hah, Desa pondok jeruk? Itu kan nama desaku, berarti aldi murid baru ini satu desa denganku. Kira-kira ia tinggal di dusun mana ya, ah nanti aku dikiranya terlalu kepo lagi. Kuurungkan niat untuk menanyakan hal ini padanya.
“Apakah ada yang akan bertanya?”, tanya aldi.
Terlihat sela mengajungkan tangannya.
“Apa alasan kamu sehingga pindah ke sekolah kami?” tanyanya.
“Emm, karena kedua orangtuaku pindah ke sini untuk menjaga dan merawat kakek dan nenek. Jadi aku harus ikut dengan mereka”, jawab aldi padanya.
Karena tidak ada yang bertanya lagi, lalu Bu linda menyuruhnya untuk duduk bersama gilban yang memang duduk sendiri. Setelah dirasa selesai, Bu linda kembali ke ruang BK. Tak lama kemudian, guru mata pelajaran sosiologi datang.
“Selamat datang untuk Aldi”, ucap Pak Nanang.
“Terima kasih, Pak”, jawab Aldi dengan begitu sopan.
Sekarang pelajaran sudah dimulai dan Aldi terlihat begitu antusias mengikutinya. Nampaknya ia memang anak yang cerdas, baru pertama ia masuk ia sudah begitu berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh setiap guru. Aku menjadi salut melihat laki-laki seperti dia.
Ketika jam istirahat, aku dan Fita ke kantin untuk membeli makan. Aku merasa sedikit kesal karena kursi sudah penuh, tapi mataku melihat ke arah kursi yang hanya diduduki oleh seorang siswa laki-laki. Entah dia siapa, aku juga kurnag tahu karena mataku hanya bisa melihat punggungnya. Lalu aku dan Fita pergi menghampirinya.
“Hai, bolehkah kami makan dan duduk di sini bersama anda?” tanyaku ragu-ragu.
Aku terkejut saat melihat wajah laki-laki ini. Ternyata dia Aldi, pantas saja aku merasa tidak begitu asing.
“Ternyata kamu, Aldi. Boleh gabung kan?” tanya Fita.
“Oh, silahkan. Sepertinya kita satu kelas ya?” tanyanya.
“Betul sekali”, jawabku.
Aku merasa nyaman makan bareng Aldi. Dia itu orangnya ramah, familiar, tidak sombong, pokoknya semua sifat baik sepertinya dikuasainya. Selesai makan kamipun menuju kelas bersama. Sejak kejadian ini aku, Fita dan Aldi menjadi lebih akrab. Bahkan kami bertiga sering belajar kelompok bersama. Tapi sampai sekarang aku dan Fita belum pernah ke rumah Aldi, katanya neneknya sedang sakit jadi ia tidak memperbolehkan kami ke rumahnya. Ia takut kalau kami belajar dan mengobrol, bisa mengganggu istirahat neneknya.
Sering berjalannya waktu, aku dan Aldi juga semakin dekat. Kami sering jalan bareng, ke kantin bareng, ke perpustakaan bareng. Sepertinya setiap hariku selalu dekat dengannya.
Kringgg.. telingaku mendengar nada sms dari ponsel yang kuletakkan di atas meja belajar. Ternyata Aldi mengajakku jalan-jalan. Kemudian kuputuskan untuk meneleponnya.
“Halo, Aldi. Benar atau bohongan jalan-jalannya?”, tanyaku memalui udara.
“Halo, Putri. Benar, dong. Sejak kapan Aldi berbohong pada Sela?”
“Kalau begitu aku ganti baju dulu ya, nanti aku tunggu di teras”, kataku.
“Oke, jangan lama-lama ya”, pinta Aldi.
“Oke”, kututup teleponnya dan berbegas ganti baju.
*) Siswa kelas 9a dan tim redaksi
31 desember 2023, Lumajang